Welcome Guest!
twitter facebook rss

,

Mutasi "Babi Buta" gaya Amir Sahaka

                                 Mutasi “Babi Buta” gaya Amir Sahaka
Plt. Bupati Kolaka, Amir Sahaka

Mutasi yang dilakukan oleh Amir Sahaka (AS), pelaksana tugas Bupati Kolaka pasca penetapan “tersangka kasus korupsi pulau lemo” Bukhari Matta, menuai kontroversi dan gelombang aksi demo dari berbagai kalangan. Terutama dari kelompok yang tidak puas dan tidak menerima “Tirani” itu. Asumsi umum yang berkembang menyebutkan bahwa ini adalah Politik balas dendam, pasca dilaksanakannya Pilkada Gubernur tahun 2012 lalu, yang memenangkan Nur Alam sebagai gubernur Sulawesi Tenggara. Namun dari beberapa telaah dan komentar menjastifikasi kebijakan mutasi Amir Sahaka sebagai tindakan Politik yang kebablasan dan sangat bodoh. “kebijakan ini bukannya membuat kredibilitasnya semakin baik, tapi malah meruntuhkan elektabilitasnya” kata sumber

Amir Sahaka, plt Bupati Kolaka yang dipastikan maju sebagai calon Bupati, priode 2014-2019 bersama pasangannya Parmin Dasir dari Partai Amanat Nasional (PAN), terpaksa menuai sorotan tajam terkait mutasi sejak bulan April 2013 lalu. Banyak kalangan yang menganggap bahwa itu merupakan strategi politik “membabi buta” gaya Amir Sahaka. Bisa dilihat dari beberapa aturan (regulasi) yang dilabrak untuk memuluskan tujuan politiknya. Apalagi pelaksanaan Pemilihan umum kepala daerah (Pemilikada) Kabupaten Kolaka akan dilaksanakan pada akhir tahun 2013 mendatang.

Keterangan lain juga menyebutkan adanya intervensi Gubernur Sulawesi Tenggara soal pelaksanaan mutasi/rotasi agar dilakukan secepatnya, sebelum dirinya umroh.  Dengan demikian, upaya mendapatkan rekomendasi Menteri Dalam Negeri, terkait mutasi ini  pun berjalan lancar. Mutasi jilid satu dilakukan dengan kuota sekitar 12 orang yang 80 % diantaranya di nonjob.

Jika merujuk pada rekomendasi  Mendagri no 800/5335/SJ  tentang pelaksanaan mutasi pejabat struktural menjelang Pemilukada di Kabupaten Kolaka, memberi penekanan yang sangat jelas untuk diperhatikan. Khusunya pada butir 3 (tiga) huruf  (a) tertulis, Untuk pengisian jabatan yang lowong dengan tidak melakukan pemberhentian pejabat (nonjob), menurunkan jabatan (demosi) dan mengalihkan pejabat struktural menjadi pejabat fungsional.

Sebagaimana diungkap oleh beberapa sumber, Mutasi jilid 1 (satu) berdasarkan rekomendasi Mendagri, beberapa pejabat eselon 1 kena  nonjob, yakni Kepala Kepegawaian Daerah (BKD) Rohaedin bersama sekretarisnya, Hj. Andi Wahida. Kepala Dinas Pertambangan, Andi Sastra Pangeran, Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Bahrun Hanise. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, Abdullah, Kepala Dinas Catatan Sipil, Mustajab dan masih banyak lagi pejabat eselon dua yang dibuat gerah.

Masalah ini tidak hanya sampai disitu. Amir Sahaka kembali membuat formulasi mutasi jilid 2 (dua)  dengan kuota sekitar 230 orang untuk eselon II, III dan IV. Bahkan direncanakan untuk mutasi jilid 3 (tiga), kuotanya diperkirakan lebih banyak lagi. Namun rencana tersebut gagal karena adanya aksi protes dan gelombang demonstrasi. Bahkan dalam rapat dengar pendapat komisi 1 DPRD Kolaka, akhir Mei 2013 lalu, mengeluarkan 4 (empat) butir pendapat yaitu, Badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (Baperjakat) Pemda Kabupaten Kolaka, tidak dapat memperlihatkan bukti kronologis terkait mutasi yang di lakukan. Hingga Komisi I DPRD Kolaka, mendesak Baperjakat untuk membatalkan mutasi karena dinilai cacat dan tidak sesuai dengan surat edaran Mendagri. Komisi I DPRD Kolaka  juga melakukan teguran keras kepada Sekretaris Daerah (Sekda) selaku ketua Baperjakat, karena sengaja tidak hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut. Selain itu, DPRD Kolaka akan melakukan konsultasi ke Mendagri sebagai penolakan mutasi. Informasi yang diterima oleh media ini juga menyebutkan, bahwa Amir Sahaka yang di hering di DPRD ketika itu nyaris disandra oleh massa pengunjuk rasa, andai ia tidak meloloskan diri lewat pintu belakang gedung DPRD Kolaka saat itu.

DPRD melalui komisi I menganggap “mutasi” ini cacat dan tidak sesuai aturan serta surat edaran Mendagri karena di duga kuat adanya pelanggaran terhadap mutasi tersebut. Selain melakukan rotasi serta me“nonjob’kan sekian banyak pejabat eselon ,II,III dan IV, beberapa pejabat pungsional pun di alihkan ke jabatan struktural. Misalnya, mantan Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Latambaga, Yadin Galuh yang di parkir  pada Dinas Dikmudora Kolaka karena tersandung kasus, kini menduduki jabatan sebagai Camat. Demikian pula Kepala SD Negeri 1 Sabilambo, Sulwan Suvyan, diangkat menjadi Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Pariwisata Kabupaten Kolaka.  Sementara , Syarifuddin, T.S.S, M.Pd kini menjabat Lurah Balandete. Sebelumnya ia adalah Pengawas  dalam Lingkup Pendidikan Pemuda Dan olah raga Kabupatern Kolaka.

Masalah ini terus bergulir hingga ke ruang Menteri dalam Negeri di Jakarta. Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa Amir Sahaka mendapat panggilan ke Jakarta untuk dimintai keterangan soal mutasi tersebut. Elektabilitasnya dalam kancah politik di asumsikan kian merosot. Belum lagi ia diperhadapkan dengan konsekwensi psikologis politik atas kebijakan yang dilakukan. “kita lihat saja, kemana arah roda politik bergerak. Yang jelas semua punya peluang dan akan berhadapan dengan hukum sebab akibat” ujar Yoyok, salah satu tokoh masyarakat yang ditemui ketika itu.

Pada dasarnya, mutasi jabatan merupakan suatu hal yang wajar dalam penataan PNS menuju kondisi yang diharapkan. Selain dalam rangka reformasi birokrasi dan mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia, menjadi indikator peningkatan kompetensi serta penyegaran birokrasi untuk meningkatkan kualitas pekerjaan.  Sebagai konsep kebijakan dalam kepegawaian, Rotasi memiliki arti filosofi lebih dalam dari Mutasi (yang lebih bersifat teknis) justru tidak tersurat dalam peraturan kepegawaian di Republik Indonesia.  Baik Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, tidak menyebut istilah Rotasi atau Rolling.
Namun pada hirarkinya, sejak lahirnya undang-undang otonomi pemerintahan daerah nomor 22 tahun 1999, kondisi seperti ini menyerupai elegy Politik dan menjadi Referesentatif terbentuknya kerajaan-kerajaan kecil di tanah air. Demokrasi yang didegungkan menjadi Mars birokrasi dalam pusaran teori dan retorika belaka. Kenyataan yang terjadi pada tahun 2013 di Kabupaten Kolaka, menjadi contoh kasus tercideranya demokrasi kita dalam ber Negara dan ber Bangsa.  (Asri) 

 

0 komentar

Readers Comments


Latest Posts

Sponsored By

Featured Video

Our Sponsors

Sponsor

SuperTani