Welcome Guest!
twitter facebook rss

,

Mengurai Masalah Seputar Pelabuhan Fery Bajoe-Kolaka

Dari Praktek Calo Hingga Bilik Seks Di Atas Kapal

Dinamika Pelabuhan penyeberangan “Bajoe-Kolaka”, dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam rentang waktu 20 tahun, pembenahan dan pembangunan sarana / prasarana pelabuhan bergerak sangat cepat. Berbagai pasilitas untuk memanjakan pengguna jasa pelayaran pun kian lengkap. “Kondisi pelayaran di tahun 80an, dibanding sekarang, jauh melejit hingga 180 derajat” ungkap seorang pria paruh baya, saat penulis berlayar menuju pelabuhan Kolaka (Juni 2013)
Area Pelabuhan Bajoe di Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, nyaris tak pernah sepi oleh berbagai aktivitas. Puluhan bahkan ratusan kendaraan motor maupun mobil dari berbagai jenis (roda empat, roda enam, truk tronton  hingga alat berat-red) nampak antri dipelataran pelabuhan yang terkesan tertib. Disisi lain, beberapa calo sedang berseliweran mencari mangsa, berbaur dengan pedagang asongan dan penumpang kapal fery yang hendak berangkat ke Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Senja mulai menyisih, malam pun menebar bias. Aktivitas penyeberangan kian menamppakan gairahnya. Di landasan gerbang kapal fery, Nampak sekelompok penumpang terlihat sibuk sedang hitung-hitungan dengan tiga orang calo tiket. Bahkan beberapa penumpang diantaranya, diloloskan naik ke kapal oleh seorang calo, tanpa mengantongi tiket penyeberangan. “apa mereka masuk dalam daftar manifest?” Pertanyaan itu menyeruak dalam benak penulis, namun tiba tiba buyar akibat omelan seorang ibu, yang merasa dibodohi oleh calo tiket.
“ibu,.. kenapa?”
“itu, si calo pemeras…. Masa satu tiket saya dikasi Rp. 100.000?  padahal teman saya Cuma dikasi Rp. 80.000” ungkap sang ibu yang mengaku bernama Farida dengan nada kesal.
Selang beberapa saat, bincang-bincang penulis dengan salah satu penumpang bernama Herman (37), mengaku membayar tiket penyeberangan kendaraan roda dua senilai Rp. 250.000 melalui seorang calo. Nampaknya, bukan hanya ibu Farida dan Herman yang mengalami kondisi sama. Beberapa penumpang lainnya, juga mengalami nasib yang sama. Para calo sudah terang terangan melakukan praktek jual jasa di depan petugas pelabuhan dan petugas kapal dengan cara kasar dan terkesan memaksa. Ini merupakan persoalan mencari uang untuk kelangsungan hidup, dengan melabrak rambu-rambu dan aturan yang sudah ada. Semua itu dilakukan secara transparan bahkan terkesan dilegalkan karena tidak adanya upaya pencegahan maupun penertiban oleh pihak yang berkompeten.
Maraknya pungutan liar (Pungli), tidak hanya dilakukan oleh para calo. Tapi juga terjadi pada petugas pelabuhan dari beberapa institusi yang memiliki otoritas di masing-masing bidang. Meski PT ASDP memiliki otoritas sebagai pengendali pelabuhan penyeberangan, lembaga lain seperti Dinas Perhubungan, Kepolisian, Syahbandar serta beberapa perusahaan pelayaran dan komunitas kelompok tertentu. “Bahkan Lembaga PERS ikut andil???”.
Faktanya, pungutan liar tersebut mulai menerpa ketika memasuki pintu palang pertama, di kantor pelayanan tiket, pintu palang kedua hingga di atas kapal fery. Penarikan retribusi yang tidak sesuai dengan nilai leges, penyetoran tanpa dasar aturan hingga pembayaran tiket melebihi nominal yang tercantum.  Misanya, tiket penyeberangan dewasa/ kepala untuk kelas deck, sesuai tera tiket Rp. 62.000. Namun pembayaran kadang dibulatkan Rp. 65.000. Masih untung jika disertai penjelasan bahwa tidak ada “uang kecil”. Demikian pula dengan tiket kendaraan roda dua Rp. 168.000, kadang di patok menjadi Rp. 170.000.  Bisa dibayangkan, jika pengguna jasa pelabuhan terjebak dengan para calo, betapa banyak keuntungan yang diraup sementara penumpang musti merogoh saku agar tidak terkendala. Dengan prekwensi penyeberangan 4x sehari, yakni jam 2.00 siang, 5.00 sore, 8.00 dan jam 11.00 malam, menjadikan kawasan pelabuhan Bajoe sangat menggiurkan untuk meraup rupiah.
Cerita unik lainnya turut mewarnai keberadaan Pelabuhan Penyeberangan Bajoe.  Mulai dari ulah para pedagang asongan yang kadang membuat penumpang tak nyaman, sewa tikar, matras gabus, pindah kelas, sewa tempat duduk hingga sewa kamar Anak Buah Kapal (ABK). Geliat ekonomi dikawasan pelabuhan hingga komersialisasi diatas kapal, benar-benar menggairahkan. Namun disayangkan, kenyamanan pengguna jasa, norma dan etika, rambu-rambu kesusilaan serta aturan-aturan yang ada seringkali dikesampingkan.
Mencermati bisnis sewa kamar/bilik diatas kapal, ternyata sangat kental dengan praktek perzinahan. Bisa disebut dengan praktek prostitusi terselubung. Berapa banyak pelaku dikalangan remaja, atau perselingkuhan dikalangan dewasa, sulit dideteksi. Namun tak bias dipungkiri, kondisi seperti itu, merupakan sebuah fakta yang mengundang keprihatinan segelintir orang. Bagi pembaca yang pernah menggunakan jasa penyeberangan pelabuhan Bajoe menuju Kolaka atau sebaliknya, pasti pernah ditawari sewa kamar oleh para calo. Ketika kaki sudah menapak diatas lantai kapal, teriakan “sewa kamar bu, sewa kamar pak”  bukan hal yang asing bagi para penumpang.
Apa yang terjadi,..  Bias dibayangkan jika pasangan bukan suami istri, menghuni kamar dengan tarif  tak jauh beda dengan sewa kamar hotel ini. Berkisar  antara 150.000 hingga 200.0000 rupiah. Perjalanan pengarungi teluk Bone pun akan dihabiskan dengan melampiaskan hasrat seksual. Pelayaran dengan durasi 7 hingga 8 jam dilaut, tidak menutup kemungkinan untuk itu. Investigasi yang dilakukan oleh salah seorang rekan jurnalis salah satu media, menemukan jawaban tentang adanya praktek seperti itu.
Disebutkan, salah seorang warga Bone bernama Ardi, menuturkan secara gamblang jika ia seringkali melakukan hal itu di atas kapal dengan pasangan yang berbeda. Dalam kesempatan wawancara ketika itu, Ardi bertutur “awalnya saya berkenalan dengan seorang perempuan di Pelabuhan Kolaka sambil menunggu pemberangkatan kapal. Karena keasyikan ngobrol, perkenalan pun kian akrab. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan dengan merayu dia. Gayung bersambut dan berlanjut hingga di dalam kamar ABK yang saya sewa.  Walaupun sempat ditanya oleh calo,  saya hanya mengaku sebagai pasangan suami istri.  Apalagi tidak diharuskan untuk memperlihatkan surat nikah. Penumpang  tidak perlu menaruh curiga, karena keberadaan kamar ABK itu berada di bagian bawah kapal dan melalui lorong yang sempit dan harus melalui anak tangga”
Hal senada diungkapkan salah seorang penumpang KMP Mishima, Wahyu. Menurutnya, kamar ABK yang dipersewakan itu bukan menjadi rahasia lagi kalau kerap digunakan penumpang yang bukan pasangan suami istri untuk menuntaskan hasrat seksnya. menurut Wahyu,  itu biasa dilakukan oleh sesama para penumpang kapal, yang sebelumnya sudah akrab dan menjalin perkenalan di pelabuhan atau di atas bus. Jika ada kesepakatan maka mereka menyewa kamar ABK. Menurutnya,  penuntasan hasrat seks di atas kapal feri dengan memanfaatkan kamar ABK, sulit dideteksi oleh penumpang lainnya. Hal itu dikarenakan kamar ABK itu tidak dipantau secara langsung oleh para penumpang lainnya, sehingga  sangat sulit untuk diketahui. serta Para ABK yang menyewakan kamarnya pun tak ambil pusing, apa yang dilakukan penumpang di kamar tersebut, apalagi kamar itu dapat dikunci. katanya
Penggalan kejadian dan peristiwa yang diurai oleh penulis, merupakan sebuah phenomena. Jika ditelaah secara cermat, akan berdampak pada pencitraan PT. ASDP sebagai pengelola pelabuhan. Meski tak dapat disangkal, kemajuan sarana/prasarana pelabuhan Bajoe-Kolaka demikian pesat, namun bukan berarti harus menutup mata dengan adanya seonggok persoalan.
Wawancara Cakrawala News dengan Kepala Cabang PT, ASDP Kabupaten Bone, Andi Mashuri, di dampingi Kepala Operasional, Takari, beberapa pekan lalu, memberi harapan akan adanya tindakan penertiban, terhadap hal-hal yang dianggap mengganggu kenyamanan pelayanan penumpang. Nyatanya, hingga saat ini belum ada tanda tanda kapan akan dilakukan. Pedagang asongan kian tidak tertib. Tikar terhampar diatas kapal yang mengganggu kenyamanan penumpang masih saja menjadi pemandangan disetiap pelayara. Demikian pula dengan para calo yang meresahkan penumpang, masih berkeliaran di mana-mana.
“pihak ASDP tidak bisa serta merta melakukan tindakan penertiban. Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Sebab komunitas yang beraktivitas diatas kapal, sangat kompleks dengan bermacam karakter. Tentu tidak diharapkan jika terjadi benturan karena adanya kepentingan. Ini masalah perut mereka. Dan bukan hanya segelintir preman yang ada disana. Bahkan ada dari kalangan PERS” ungkap Takari yang di damping oleh Kepala Cabang ASDP Bone ketika itu.
Komentar yang dilontarkan oleh Takari, mendapat tanggapan keras Iwan, salah seorang pengelola jasa sewa tikar dan matras. Iwan yang juga wartawan salah satu media mengatakan “soal bisnis itu sipatnya individual. Tidak ada kaitan profesi saya sebagai wartawan disitu. Jika diasumsikan bahwa, PERS yang punya usaha dan mengelola bisnis, itu sangat salah. Ini perlu diklarifikasi dan diperjelas kembali. Sebab secara kelembagaan, akan banyak wartawan yang tersinggung jika dikatakan seperti itu” tegas Iwan.
Phenomena ini, kemungkinan juga terjadi di pelabuhan pelayaran lain, bukan hanya di pelabuhan penyeberangan Bajoe-Kolaka. Sebagaimana di ketahui, Nusantara ini terdiri dari sebahagian besar wilayah perairan. Bisa jadi, pemenuhan hasrat seks diatas jembatan laut karena terbukax ruang kesempatan dan tersedianya tempat.yang aman. Apakah dengan tidak di isinkannya sewa kamar di atas kapal fery, akan menutup praktek seperti ini??? (Asri)
     

0 komentar

Readers Comments


Latest Posts

Sponsored By

Featured Video

Our Sponsors

Sponsor

SuperTani